HARI CINTA PUSPA DAN SATWA NASIONAL

HARI CINTA PUSPA DAN SATWA NASIONAL

            Hari cinta puspa dan satwa nasional diperingati pada tanggal 5 November. Peringatan ini didasarkan atas kesalahan manusia dalam hal ini masyarakat Indonesia dalam mengartikan kata “Cinta”. Lalu sebenarnya apa makna dari “Cinta” yang sebenarnya? Sudahkah kita mengaplikasikan “Cinta” kita pada puspa dan satwa nasional?

            “Cinta tidak harus memiliki!” mungkin ungkapan itu merupakan ungkapan yang tepat untuk mengartikan kata cinta pada puspa dan satwa. Seringkali kita mendengar kalimat klise tersebut, kalimat yang mudah diucap namun sulit dilakukan. Kita selalu terkurung dalam paradigma bahwa cinta itu berarti memiliki. Namun konteks tersebut tidak berlaku disini.

            Lalu bagaimana kita mengungkapkan rasa cinta kita kepada puspa dan satwa? Sangat mudah. Cukup dengan biarkan “mereka” (puspa dan satwa) hidup seperti apa adanya tanpa banyak campur tangan manusia.

            Sebelum kita jauh membahas cinta, kita bahas makna dari puspa dan satwa. Seperti pada postingan sebelumnya (world animal day 4th October) disebutkan dengan sangat jelas makna dari satwa dan apa itu satwa. Satwa merupakan makhluk yang dapat bergerak, berkembang biak, dan mengembangkan nalurinya secara natural. Sedangkan puspa berarti tumbuhan, makhluk hidup yang dapat tumbuh dan berkembang dengan cara berfotosintesis atau tumbuhan yang tak dapat berfotosintesis namun menempel pada tumbuhan lain yang dapat melakukan fotosintesis.

            Kembali pada konsep cinta yang akan kita bahas. Cinta yang berarti memiliki sesungguhnya tidak menunjukkan ungkapan cinta yang setulusnya. Karena dengan memiliki “mereka”, itu berarti telah membatasi ruang hidupnya. Bayangkan satwa yang seharusnya berburu dengan liarnya, menjaga keseimbangan ekosistem tempat tinggalnya dengan proses rantai makanan, harus dimiliki dan terkurung dalam jeruji besi milik pribadi. Hanya karena kau mencintainya untuk dapat dipamerkan atau sekedar menjadi penghias ruang tamu anda. Burung yang suaranya menggema di hutan raya, kini hanya berkicau malu diteras rumah membangunkan tetangga. Itukah cinta? Merubah perilaku alaminya? Mereka yang seharunya bisa memperbanyak populasinya, justru diburu dan diambil kulitnya, gadingnya, giginya, atau siripnya hanya untuk menjadi gantungan kunci, karpet, atau bahkan dimakan.

            Sampai kapan kita terbelenggu dalam rasa cinta yang salah? Sampai kapan kita memaksakan kemauan kita dan menekan perilaku mereka? Mari kita rubah apa yang telah salah. Cinta tak harus memiliki. Kau bisa datangi rumah mereka, hutan rimba dengan segala dinamikanya. Bukan memaksa mereka untuk hadir dirumah anda. Karena manusialah yang diberi akal untuk dapat berpikir dan beradaptasi dengan mudah, bukan mereka yang dipaksa mengikuti pola pikir manusia! (Himakova)