Ambon (31/8)-- Rumah sokat adalah salah satu desa di
negeri Sawai, Pulau Seram. Desa ini berada di pinggiran pantai sampai perbukitan atas. Desa ini dikenal dengan sebutan Rumah Sokat lama. Rumah Sokat Lama berbatasan dengan Hatulua (Sawai) dan
Batu Gurita (Saleman). Pada awalnya
di desa ini terdapat sekitar 30 Kepala Keluarga, dengan mata pencaharian sebagian besar penduduknya menambak ikan. Namun seiring
berjalannya waktu satu persatu penduduk desa ini berpindah ke desa lain, sampai
pada akhirnya pada tanggal 14 Agustus 1975 seluruh penduduk desa resmi
berpindah ke daerah Wahai
yang kini dikenal dengan sebutan Rumah
Sokat Baru.
Sebagian besar penduduk di desa ini
tidak beragama (atheis). Namun setelah memasuki tahun 50-an, masuk pengaruh
Islam dan Nasrani
melalui penyebaran bangsa Persia. Selain Persia, wilayah ini juga dipengaruhi
oleh bangsa Belanda. Hal ini dibuktikan dengan adanya peninggalan jalan setapak
yang disusun dari bebatuan sepanjang pesisir pantai menuju perbukitan atas. Oleh karena itu, desa ini sering
dijuluki kota Patu (batu). Sebab, hanya di desa
ini yang dibangun jalan setapak dari batu menuju puncak perbukitan.
Penduduk desa ini juga memiliki 5 marga,
diantaranya Katayane, Makasale, Tolau, Malehute, dan Manikuti. Marga ini
menunjukkan tingkatan kedudukan di desa tersebut. Marga Katayane adalah marga
tertinggi di desa ini. Biasanya keluarga yang memiliki marga tertinggi tak
hanya mengandalkan laut sebagai sumber mata pencaharianya, tapi juga dengan
bercocok tanam.
"Ayah saya menanam cengkih dan
durian di halaman rumah sehingga ketika panen hasilnya melimpah" ujar Zoel Katayane, yang akrab disapa Om Zoel selaku penduduk asli rumahsokat lama
yang bermarga Katayane dan kini menjabat sebagai Kepala Resort Masihulan kawasan Taman Nasional Manusela bagian Utara.
Jenis pohon yang dapat tumbuh baik di
desa ini ialah jenis tanaman umur panjang contohnya seperti durian, cengkih, lada, dan palawija dll. Sampai saat ini,
sepanjang jalan menuju perbukitan
masih
banyak dijumpai pohon
durian, pala, cengkih, dan lada.
Kebiasaan yang dipercaya oleh penduduk
desa ini adalah
wanita yang sedang datang bulan (menstruasi)
dan melahirkan, maka ia tidak boleh tinggal dirumahnya, tetapi harus dipisahkan dirumah lain yang berada
persis didekat pantai. Hal ini karena mereka dianggap sedang dalam keadaan
tidak bersih. Oleh karena itu tidak boleh disatukan dengan penduduk lain.
Selain itu, terdapat air payau yang dipercaya sebagai obat influenza. Tempatnya
berada di pinggir pantai dan di sekelilingnya banyak batu-batuan berukuran
besar dan licin. Penduduk desa sering meminum air ini karena dipercaya dapat
meningkatkan stamina tubuh. Adapun tempat yang dipercaya sebagai tempat pamali
(tidak boleh ditempati), berada dekat perbatasan Saleman, yaitu Batu gurita. Tempat ini tidak boleh
ditempati dan dilewati karena mereka percaya bahwa tempat tersebut ada penunggunya. Bahkan jika sedang berburu satwa seperti kuskus,
kemudian satwa tersebut melewati tempat tersebut, maka dilarang untuk
meneruskan perburuan. Karena dipercaya akan mendapatkan musibah.
Untuk menempuh lokasi tersebut, dapat menggunakan long boat dari Sawai. Perjalanan ditempuh
sekitar 15 menit. Kondisi sekitar kawasan yang masih alami, tidak ada bangunan, namun hanya terdapat sisa-sisa reruntuhan bangunan yang
berserakan menambah eksotika kawasan.
Dalam perjalanan menuju puncak perbukitan,
terdapat pula tempat pengamatan burung (birdwatching). Namun sangat disayangkan kondisinya
sudah tidak layak. Ada baiknya jika ditambahkan fasilitas berupa platform. Sehingga pengunjung yang datang dapat
melakukan pengamatan burung dan menikmati pemandangan Sawai dari atas
pegunungan. Adapun burung yang dapat kita jumpai diantaranya Burung Rangkong,
Cikukua dan kelompok kelelawar yang rutin muncul di depan mess Rumah Sokat Lama pada
pkl. 19.00 WIT.
Di sekitar kawasan ini juga dapat
ditemukan Pohon Kasai yang memiliki aroma wangi yang khas. Biasanya penduduk memanfaatkan
batang pohon ini sebagai pewangi makanan. Selain itu juga terdapat pohon, yang biasa disebut pohon Gay, sebagai pakan kupu-kupu.
Selain potensi Gua dan Birdwatching, Rumah Sokat Lama memiliki potensi
bahari yang tak kalah menarik daripada Raja Ampat. Air yang sangat jernih, terumbu karang beraneka ragam dan
berbagai biota laut yang siap menyambut pada penyelam menjadi magnet bagi wisatawan
untuk menjelajahi surge bawah airnya.
Meski tak lagi menempati Rumah Sokat Lama, rasa memiliki terhadap desa ini
masih tumbuh dihati penduduk desa Rumah Sokat. Hal ini dibuktikan oleh aksi
protes penduduk yang ditunjukkan melalui surat kepada Kepala Balai Taman
Nasional Manusela pada tahun 2001 tentang penebangan pohon sembarangan dan aksi
perburuan liar. Mereka tidak terima jika ada pihak yang memanfaatkan dan
mengambil hasil hutan tanpa izin. Dalam suratnya, tertulis bahwa mereka meminta
agar kawasan ini diperhatikan dan selalu dilakukan pengawasan (controlling) yang berkelanjutan. Menanggapi aduan
tersebut, pihak Balai Taman Nasional membangun sebuah rumah tepat di tepian
pantai yang berfungsi sebagai tempat istirahat atau menginap untuk petugas Balai
yang sedang patroli di sekitar rumah sokat lama. Desa ini juga masih rutin
dikunjungi oleh penduduk desa Rumah Sokat Lama pada saat musim panen duren dan
cengkih. Biasanya mereka sengaja mendirikan tenda di sekitar pantai untuk
menunggu dan mengambil hasil panen.
Oleh: Rizka Sya'bana Azmi
mangganya yang enak
BalasHapus😍
BalasHapusMasih kurang marga yang asli dari desa ini. Yang belum tertulis
BalasHapusMarga asli?
BalasHapus