Hari Pahlawan 10 November
Pahlawan
Versi Kehutanan
10
Novermber selalu diperingati sebagai Hari Pahlawan bagi Indonesia. Peringatan ini
dicetuskan untuk mengenang jasa para pahlawan yang pada saat itu, 10 November
1945, melakukan perlawanan terhadap serangan tentara NICA atau pasukan sekutu
inggris. Sekitar 6000 warga Indonesia gugur kala itu demi mempertahankan
kemerdekaan.
Memang bukan
kita saat ini yang harus berperang, mengangkat senjata. Lalu apakah pahlawan
sudah tidak ada lagi? Apakah pahlawan hanya mereka yang mengangkat senjata? Makna
pahlawan tidak sesempit itu. Pahlawan adalah orang yang rela mengorbankan
kenyamanannya sendiri demi kenyamanan bersama. Kami sebagai organisasi yang
bergerak di bidang lingkungan telah merangkum beberapa orang yang rela
mengorbankan kenyamanannya demi kenyamanan bersama, mengabaikan kepentingan
pribadinya demi kepentingan bersama. Siapa saja mereka?
1.
Bapak Dulman (Alm.)
Setiap orang terlahir ke dunia
dengan takdirnya masing-masing. Begitu pula dengan Alm. Dulman Effendi, seorang
Kepala Resort Suaka Margasatwa Cikepuh ditakdirkan menutup usia ditengah tugas
mulianya. Beliau mengabdikan dirinya untuk menjaga Suaka Margasatwa Cikepuh
yang terletak di daerah Ciemas Kabupaten Sukabumi. Beliau menutup mata ketika
sedang berjibaku melawan api ditengah kebakaran hutan.
Ketika itu Alm. Dulman beserta
timnya baru saja melawan kobaran api siang dan malam. Namun ketika perjalanan
pulang, tim mendeteksi adanya titik api yang baru. Beliau beserta 8 orang dari
timnya langsung kembali menuju titik api. Sayangnya beliau harus roboh ketika
tengah melawan asap api. Beliau di evakuasi oleh Bapak Iwan dan anggota tim
lainnya menuju pos untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Dugaan awal
dilapangan Alm. Dulman menghirup asap sehingga pingsan. Namun ketika sampai di
Puskesmas Desa Jaringao, beliau dinyatakan telah meninggal dunia akibat
menghirup asap beracun terlalu banyak.
Berkat perjuangannya menjaga
kawasan konservasi Suaka Margasatwa Cikepuh, beliau mendapat penghargaan
kenaikan pangkat anumerta oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti
Nurbaya. Alm. Dulman mendapat julukan Pejuang Konservasi dari kerabatnya. Kerja
keras dan perjuangan beliau menjadi contoh pengabdian seseorang kepada bidang
pekerjaannya.
Kebakaran hutan memang sedang
menjadi topik hangat di seluruh pemberitaan. Kondisi iklim yang sedang kering
membuat serasah yang memenuhi lantai hutan mudah terbakar sehingga api sangat
sulit dikendalikan dan sangat cepat menyebar. Musibah yang dialami Alm. Dulman
beserta keluarganya menjadi gambaran betapa kita perlu melakukan pencegahan
kebakaran hutan yang lebih serius. (source : CNN Indonesia)
2.
Aurelien
Brule (Chanee Kalaweit)
Kecintaan Aurelien Brule kepada owa tumbuh sejak dia berusia 12
tahun. Pria yang akrab disapa Chanee ini tidak hanya mengobservasi dan menulis
buku tentang owa, tetapi juga memutuskan untuk bermukim di Indonesia demi
melestarikan owa.
Pria berusia 32 tahun itu mengaku
enggan bermukim kembali di negeri asalnya, Perancis, demi melestarikan owa di
Indonesia. Sebelumnya, selama bertahun-tahun sejak berusia 12 tahun, ia kerap
mengunjungi kebun binatang di kawasan tempat tinggalnya, Distrik Var, Perancis.
Waktu libur sekolah digunakan
Chanee untuk menghimpun berbagai informasi dan mencatat pengamatannya terhadap
hewan primata, termasuk owa. Semua hal itu kemudian dibuatnya menjadi buku
berjudul Le Gibbon a Mains Blanches (Owa Tangan Putih).
Penerbit pun terkagum-kagum
ketika Chanee yang saat itu remaja berusia 16 tahun mengajukan naskah buku
tersebut. Catatan itu dikumpulkannya dari observasi di kebun binatang yang dia
lakukan sekitar tiga tahun.
Ia bercerita, jarak kebun
binatang dengan rumahnya sekitar 30 kilometer. Begitu asyiknya, Chanee bisa
menghabiskan delapan jam mengamati aneka satwa sejak kebun binatang itu buka
hingga tutup pukul 17.00.
Di kebun binatang itulah
kecintaan Chanee terhadap owa mulai tumbuh. Awalnya ia senang mengamati semua
primata. Chanee mengenang, ia pertama kali melihat owa secara langsung pada Mei
1992.
”Kenapa senang owa, saya pun tak
tahu. Perasaan itu tumbuh dengan sendiri. Tetapi, saya memang terpana saat
melihat langsung owa,” ujarnya. Namun, antusiasmenya itu perlahan berubah menjadi
rasa iba.
Menurut dia, owa sering kali
harus tinggal sendiri. Padahal, owa seharusnya punya pasangan. Oleh karena
itulah, hasratnya untuk melihat langsung owa di hutan begitu besar.
Sampai suatu hari aktris Muriel
Robin membaca artikel mengenai buku karya Chanee. Robin terkesan dan bersedia
menyokong dana agar Chanee bisa bertolak ke Thailand untuk melihat langsung owa
di habitat asli. Di Thailand dia mendapatkan nama Chanee, yang artinya owa
dalam bahasa Thailand.
”Saya ke Thailand karena
urusannya paling gampang. Senang sekali melihat owa hidup di alam. Tiga bulan
saya di sana,” ujarnya.
Chanee kemudian mengetahui bahwa
jenis owa paling banyak terdapat di Indonesia. Di dunia ada 17 jenis owa dan
Indonesia punya tujuh jenis di antaranya.
”Semua jenis owa di dunia
terancam punah. Saya lalu memutuskan pergi ke Indonesia,” ujarnya.
Dalam perjalanan ke Indonesia,
Chanee membaca berita tentang kebakaran hutan di Indonesia. Niatnya
beraktivitas di Indonesia pun kian besar. Ia tiba pada Mei 1998 saat kerusuhan dan
isu pergantian pemerintahan menghebat. Namun, tekadnya melestarikan owa
menaklukkan kerisauan itu.
Kalaweit
Chanee lalu mendirikan lembaga
untuk melestarikan owa. Ia mengajukan izin membentuk yayasan bernama Kalaweit
yang berbasis di Kalimantan Tengah. Kalaweit artinya owa dalam bahasa Dayak
Ngaju.
Proses mendirikan yayasan
memerlukan waktu sekitar sembilan bulan. Pegawai Kementerian Kehutanan pun
terheran-heran melihat anak muda yang tak lancar berbahasa Indonesia ini
mengurus izin tersebut.
”Bahasa Inggris saja saya belum
fasih. Apalagi waktu itu sedang pergantian presiden. Jadi, proses perizinan
cukup sulit,” katanya.
Chanee pergi ke berbagai tempat
dengan transportasi umum karena keterbatasan dana. Setiap dua bulan dia juga
harus bolak-balik ke Singapura untuk memperpanjang visa. Kegigihan itu
membuahkan hasil.
”Mungkin karena pegawai
Kementerian Kehutanan bosan melihat saya hampir setiap hari, makanya izin
diberikan, ha-ha-ha,” ujarnya.
Kini Yayasan Kalaweit
mempekerjakan 52 karyawan lokal. Selain owa, mereka juga tak menolak satwa
lain, seperti kera, piton, kukang, buaya, bekantan, dan beruang madu.
Kalaweit melakukan tiga
aktivitas. Pertama, satwa yang dipelihara warga diusahakan kembali ke alam.
Kedua, pelestarian habitat owa dengan mendirikan tempat perlindungan owa seluas
8 hektar di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.
”Kami juga membantu apa pun yang
bisa dikerjakan untuk menjaga Cagar Alam Pararawen seluas 5.300 hektar di
Barito Utara,” katanya.
Ketiga, petugas Kalaweit berusaha
mendekati pemilik satwa untuk melepaskan peliharaannya. Petugas mengimbau agar
satwa liar tak ditangkap. Jika sedang berpatroli dan menemukan jerat, mereka
menghancurkannya.
Selain itu, Kalaweit yang bekerja
sama dengan Pemerintah Kota Palangkaraya sejak tahun 2007 juga berupaya
melestarikan kawasan konservasi Hampapak seluas 700 hektar.
Tempat perlindungan owa juga
dibuat di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, sembilan tahun lalu. Ini membuat
program Kalaweit menjadi pelestarian owa terbesar di dunia. Total 250 owa hidup
di tempat perlindungan di Kalimantan Tengah dan Sumatera Barat.
Radio dan
internet
Tahun 2003 Chanee melakukan
sosialisasi dengan mendirikan Radio Kalaweit berfrekuensi FM 99,1 di
Palangkaraya. Ia juga berbagi informasi mengenai owa dan kegiatan yayasan lewat
situs internet beralamat www.kalaweit.org.
”Siaran radio kami tak melulu
soal owa karena tak ada lagu bisa membuat radio ini tidak ada pendengarnya.
Siaran kami mengutamakan hiburan, dengan menyisipkan pesan menyayangi satwa,”
katanya.
Pengaruh radio ternyata besar.
Sebagian besar satwa yang diserahkan kepada Yayasan Kalaweit di Jalan Pinus,
Palangkaraya, berasal dari pendengar.
Chanee mengakui tugasnya tak
ringan. Aktivitasnya membuat waktu yang tersisa untuk keluarga terbatas.
Apalagi aktivitas dan siaran Chanee demi mempertahankan kelestarian alam
menimbulkan ketidaksukaan beberapa pihak yang merasa terganggu.
”Ancaman saya terima lewat surat,
telepon, sampai bertemu pelaku. Pernah ada orang datang ke kantor dengan
membawa pisau,” ujarnya.
Namun, iming-iming imbalan agar
kegiatan pelestarian itu dihentikan hingga ancaman pembunuhan tak menyurutkan
niat Chanee melestarikan owa.
Keinginan lainnya yang belum
terpenuhi adalah menjadi warga negara Indonesia. ”Saya juga ingin menjadi warga
Indonesia. Sudah empat tahun saya mengurusnya, tetapi belum berhasil, cukup
susah,” katanya. (source:science.kompasiana.com)
0 comments:
Posting Komentar