(Cikananga, 15-16 Januari 2013)
Bila berbicara
tentang penyelamatan dan rehabilitasi satwaliar maka setidaknya ada dua lembaga
konservasi yang menurut Permenhut P.53/2006 memiliki tanggung jawab dalam hal
tersebut. Lembaga yang dimaksud ialah Pusat Penyelamatan Satwa dan Pusat
Rehabilitasi Satwa. Setidaknya ada dua hal pembeda antara kedua bentuk lembaga
tersebut. Perbedaannya ialah:
PPS
|
PRS
|
1.
Melakukan perawatan/pemeliharaan, dan penyelamatan berbagai jenis satwa baik yang dilindungi maupun yang
tidak dilindungi undang-undang dan atau ketentuan Convention of International
Trade on Endangered Spesies of Flora Fauna (CITES)
|
2.
Melakukan perawatan/pemeliharaan, berbagai jenis satwa baik yang dilindungi maupun yang
tidak dilindungi undang-undang dan atau ketentuan Convention of International
Trade on Endangered Spesies of Flora Fauna (CITES) dalam rangka
mengadaptasi satwa untuk dikembalikan kehabitatnya;
|
3.
Memiliki lahan seluas sekurang-kurangnya 1 (satu) hektar
|
4.
Memiliki lahan seluas sekurang-kurangnya
3 (tiga) hektar
|
Meskipun terdapat perbedaan dalam hal fungsi dan
tujuan terbentuknya kedua lembaga tersebut, namun pada kenyataannya saat ini
kedua lembaga tersebut sama- sama bertugas untuk melakukan
perawatan/pemeliharaan satwa hasil sitaan, mengadaptasikannya/meliarkan kembali
satwa yang bersangkutan dan mengembalikannya ke habitat aslinya. Hal ini
terjadi karena kondisi perdagangan satwaliar illegal yang semakin marak dan
memerlukan tindakan lebih lanjut terhadap satwa-satwa hasil sitaan yang
diperoleh dari perdagangan illegal ataupun sitaan dari masyarakat.
Berikut sejarah
singkat tentang perkembangan PPS dan PRS di Indonesia:
1.
Sebelum
tahun 2000, kegiatan penyelamatan dan
rehabilitasi dilakukan oleh PHKA dan LSM internasional, lebih terkonsentrasi
pada jenis satwa tertentu (contoh ; program pelestarian jalak bali)
2.
Sejak
tahun 2000, kampanye perlindungan satwa liar mulai marak dan banyak kegiatan penyitaan satwa
liar dilindungi;
3.
Lokakarya
Hotel Salak pada Juni 2000, menjawab
tantangan akan kebutuhan fasilitas pengelolaan satwa hasil sitaan;
4.
Pembangunan
dan pengelolaan program PPS oleh lembaga
lokal/nasional dan BKSDA sangat aktif tahun 2000-2006 setelah ada kesepakatan
kerjasama antara PHKA dan The Gibbon Found dan LSM lokal;
5.
Hasil
: Program yang sangat aktif, ribuan satwa diselamatkan dari
peredaran/perdagangan ilegal, kampanye intensif, dll, penurunan jumlah satwa di perdagangan di pasar2 satwa,
terbentuknya jaringan PPS;
6.
Permenhut
P. 53/2006 tentang bentuk lembaga Konservasi untuk mengatur dan memasukkan PPS
dan PRS
kedalam klasifikasi bentuk lembaga konservasi.
Terkait dengan
kegiatan penyelamatan dan rehabilitasi satwa, terdapat beberapa tantangan yang
harus dihadapi. Contoh kasus pada primate jawa, terdapat empat tantangan yang
harus dihadapi. Tantangan yang dimaksud antara lain: (1) Penangkapan Owa jawa dan lutung jawa tinggi;
(2) Perdagangan Owa dan lutung meningkat;
(3) Pemeliharaan owa jawa dan lutung
jawa meningkat; (4) Perambahan habitat meningkat.
Salah satu
lembaga yang bergerak dibidang rehabiltasi khususnya untuk primate jawa ialah
The Aspinall Foundation dengan programnya yang bernama “Javan Primates
Project”. Secara garis besar program yang dilaksanakan antara lain:
1.
Obyek:
fokus pada primata endemik pulau Jawa (Owa jawa, Lutung jawa, Surili );
2.
Penyelamatan,
rehabilitasi dan pelepasliaran;
3.
Kegiatan
monitoring populasi alami di kawasan prioritas;
4.
Pemberdayaan dan penyadartahuan
5.
Pengelolaan
bersama kawasan pelepasliaran;
6.
Berjejaring
dengan lembaga pemerintah lokal, nasional dan lembaga non-pemerintah lokal,
nasional dan internasional.
Pada tahun 2013
ini The Aspinall Foundation berencana untuk:
1.
Melanjutkan
dukungan untuk upaya penegakan hukum (penyitaan primata jawa yang di pelihara
ilegal);
2.
Pelepasliaran
primata Jawa di Jabar dan Jatim;
3.
Pembentukan
tim Patroli Unit untuk pengamanan dan monitoring kawasan pelepasliaran di Jawa Barat dan Jawa Timur (tim
gabungan dari BKSDA, Aspinall Foundation, masyarakat sekitar kawasan)
4.
Inisiasi
Model pengelolaan kawasan lindung bersama para pihak;
5.
Penyadartahuan
dan Pemberdayaan masyarakat sekitar proyek.
Ketika
saat ini kegiatan penyelamatan dan rehabilitasi dilakukan sebagai upaya
penanggulangan satwa-satwa hasil sitaan, maka akan timbul pertanyaan, seberapa
besar satwa yang diselamatkan dan direhabilitasi tersebut berhasil untuk
direintroduksi dan mampu bertahan hidup (berhasil)???. Salah satu lembaga yang
juga melakukan kegiatan tersebut ialah International Animal Rescue
(IAR). Lembaga ini melakukan kegiatan penyelamatan,
rehabilitasi dan reintroduksi terhadap kukang. Salah satu anggota IAR Richard S Moore dalam
presentasinya mengatakan bahwa mahal, tidak mudah dan membutuhkan waktu serta
tenaga yang banyak untuk melakukan serangkaian kegiatan panjang hingga kukang bisa
dinyatakan siap realese.
Menurut pemaparannya,
tingkat keberhasilan realease yang dilakukan oleh IAR terhadap kukang yang
mereka rescue dan rehabilitasi hanya mencapai 50%. Hanya separuh dari kukang
yang mereka realese mampu bertahan hidup, sedangkan sisanya mati dengan
berbagai sebab kematian antara lain karena klebsiella pneumonia, septicaemia,
electrocution, dimakan ular, serta sebab – sebab lain yang tidak diketahui. “Hal
ini menjadi pelajaran berharga untuk kegiatan realese selanjutnya, dan yang
terpenting ialah menulis hasil serta menyebarkan hasil kegiatan yang mereka
lakukan secara nyata” ujarnya.
Maka yang perlu dilakukan ialah harus memastikan
ancaman penyebab satwa berkurang di alam tidak ada lagi, harus membuat projek
yang holistic, harus mengikuti prosedur IUCN, mencoba identifikasi faktor
sukses dan kegagalan, kerjasama yayasan lain, kerjasama permerintah dan
authoritas lokal, serta pendidikan masyarakat. Selama perlindungan habitat belum bisa efektif dan
perdagangan belum bisa dihentikan, maka rehabilitasi dan pelepasan satwa bisa
digunakan untuk menambah usaha kelestarian.
Oleh:
Romi Prasetyo
0 comments:
Posting Komentar