Dalam konferensi internasional mengenai maleo di Tomohon, Sulawesi Utara, Rabu (24/3/2010), sejumlah ahli satwa menyatakan, perlindungan terhadap maleo adalah hal mendesak mengingat maraknya perburuan maleo oleh masyarakat.
John Tasirin, Ketua Kelompok Kerja Maleo di Sulawesi Utara, mengatakan, maleo tergolong satwa liar yang endemik (hanya hidup di suatu lokasi tertentu saja) di dataran Sulawesi, lebih khusus di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. "Perlu ada tindakan tegas kepada orang yang berburu maleo," ujar John.
Populasi maleo turun drastis dalam beberapa dekade terakhir dari sekitar 25.000 menjadi kurang dari 14.000 ekor. Aktivitas pengumpulan telur adalah penyebab utamanya dan ini mengakibatkan menghilangnya maleo dari sejumlah tempat di Sulawesi. Sekarang, maleo dikategorikan "terancam punah" (endangered).
Maleo hidup di hutan hujan tropis Sulawesi dan menimbun telurnya di tanah yang hangat atau di pantai yang terpapar panas matahari. Masyarakat lokal mengumpulkan telur untuk dikonsumsi, diperdagangkan, dan dijadikan cendera mata.
Daerah sebaran yang terbatas dan perilaku peneluran yang unik menjadikan maleo simbol satwa liar Sulawesi. Gambar dan kata maleo telah menghiasi prangko, kartu telepon, nama jalan, nama perusahaan, bahkan nama mobil nasional. Saat ini, maleo telah menjadi target wisata utama para pencinta satwa dan alam liar.
John mengatakan, ancaman kepunahan maleo didengungkan pertama kali pada 1949. Hal itu dilanjutkan dan dipertegas dalam program konservasi maleo pada 1978 di Panua (Gorontalo), di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (Sulawesi Utara) tahun 1985, dan kemudian di Taman Nasional Lore Lindu (Sulawesi Tengah) 1990.
0 comments:
Posting Komentar