Rabu, 11 November 2015

Pahlawan Versi Kehutanan

Hari Pahlawan 10 November

Pahlawan Versi Kehutanan

                10 Novermber selalu diperingati sebagai Hari Pahlawan bagi Indonesia. Peringatan ini dicetuskan untuk mengenang jasa para pahlawan yang pada saat itu, 10 November 1945, melakukan perlawanan terhadap serangan tentara NICA atau pasukan sekutu inggris. Sekitar 6000 warga Indonesia gugur kala itu demi mempertahankan kemerdekaan.

                Memang bukan kita saat ini yang harus berperang, mengangkat senjata. Lalu apakah pahlawan sudah tidak ada lagi? Apakah pahlawan hanya mereka yang mengangkat senjata? Makna pahlawan tidak sesempit itu. Pahlawan adalah orang yang rela mengorbankan kenyamanannya sendiri demi kenyamanan bersama. Kami sebagai organisasi yang bergerak di bidang lingkungan telah merangkum beberapa orang yang rela mengorbankan kenyamanannya demi kenyamanan bersama, mengabaikan kepentingan pribadinya demi kepentingan bersama. Siapa saja mereka?

1.       Bapak Dulman (Alm.)



Setiap orang terlahir ke dunia dengan takdirnya masing-masing. Begitu pula dengan Alm. Dulman Effendi, seorang Kepala Resort Suaka Margasatwa Cikepuh ditakdirkan menutup usia ditengah tugas mulianya. Beliau mengabdikan dirinya untuk menjaga Suaka Margasatwa Cikepuh yang terletak di daerah Ciemas Kabupaten Sukabumi. Beliau menutup mata ketika sedang berjibaku melawan api ditengah kebakaran hutan.
Ketika itu Alm. Dulman beserta timnya baru saja melawan kobaran api siang dan malam. Namun ketika perjalanan pulang, tim mendeteksi adanya titik api yang baru. Beliau beserta 8 orang dari timnya langsung kembali menuju titik api. Sayangnya beliau harus roboh ketika tengah melawan asap api. Beliau di evakuasi oleh Bapak Iwan dan anggota tim lainnya menuju pos untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Dugaan awal dilapangan Alm. Dulman menghirup asap sehingga pingsan. Namun ketika sampai di Puskesmas Desa Jaringao, beliau dinyatakan telah meninggal dunia akibat menghirup asap beracun terlalu banyak.

Berkat perjuangannya menjaga kawasan konservasi Suaka Margasatwa Cikepuh, beliau mendapat penghargaan kenaikan pangkat anumerta oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. Alm. Dulman mendapat julukan Pejuang Konservasi dari kerabatnya. Kerja keras dan perjuangan beliau menjadi contoh pengabdian seseorang kepada bidang pekerjaannya.

Kebakaran hutan memang sedang menjadi topik hangat di seluruh pemberitaan. Kondisi iklim yang sedang kering membuat serasah yang memenuhi lantai hutan mudah terbakar sehingga api sangat sulit dikendalikan dan sangat cepat menyebar. Musibah yang dialami Alm. Dulman beserta keluarganya menjadi gambaran betapa kita perlu melakukan pencegahan kebakaran hutan yang lebih serius. (source : CNN Indonesia)

2.       Aurelien Brule (Chanee Kalaweit)

Kecintaan Aurelien Brule kepada owa tumbuh sejak dia berusia 12 tahun. Pria yang akrab disapa Chanee ini tidak hanya mengobservasi dan menulis buku tentang owa, tetapi juga memutuskan untuk bermukim di Indonesia demi melestarikan owa. 
Pria berusia 32 tahun itu mengaku enggan bermukim kembali di negeri asalnya, Perancis, demi melestarikan owa di Indonesia. Sebelumnya, selama bertahun-tahun sejak berusia 12 tahun, ia kerap mengunjungi kebun binatang di kawasan tempat tinggalnya, Distrik Var, Perancis.
Waktu libur sekolah digunakan Chanee untuk menghimpun berbagai informasi dan mencatat pengamatannya terhadap hewan primata, termasuk owa. Semua hal itu kemudian dibuatnya menjadi buku berjudul Le Gibbon a Mains Blanches (Owa Tangan Putih).
Penerbit pun terkagum-kagum ketika Chanee yang saat itu remaja berusia 16 tahun mengajukan naskah buku tersebut. Catatan itu dikumpulkannya dari observasi di kebun binatang yang dia lakukan sekitar tiga tahun.
Ia bercerita, jarak kebun binatang dengan rumahnya sekitar 30 kilometer. Begitu asyiknya, Chanee bisa menghabiskan delapan jam mengamati aneka satwa sejak kebun binatang itu buka hingga tutup pukul 17.00.
Di kebun binatang itulah kecintaan Chanee terhadap owa mulai tumbuh. Awalnya ia senang mengamati semua primata. Chanee mengenang, ia pertama kali melihat owa secara langsung pada Mei 1992.
”Kenapa senang owa, saya pun tak tahu. Perasaan itu tumbuh dengan sendiri. Tetapi, saya memang terpana saat melihat langsung owa,” ujarnya. Namun, antusiasmenya itu perlahan berubah menjadi rasa iba.
Menurut dia, owa sering kali harus tinggal sendiri. Padahal, owa seharusnya punya pasangan. Oleh karena itulah, hasratnya untuk melihat langsung owa di hutan begitu besar.
Sampai suatu hari aktris Muriel Robin membaca artikel mengenai buku karya Chanee. Robin terkesan dan bersedia menyokong dana agar Chanee bisa bertolak ke Thailand untuk melihat langsung owa di habitat asli. Di Thailand dia mendapatkan nama Chanee, yang artinya owa dalam bahasa Thailand.
”Saya ke Thailand karena urusannya paling gampang. Senang sekali melihat owa hidup di alam. Tiga bulan saya di sana,” ujarnya.
Chanee kemudian mengetahui bahwa jenis owa paling banyak terdapat di Indonesia. Di dunia ada 17 jenis owa dan Indonesia punya tujuh jenis di antaranya.
”Semua jenis owa di dunia terancam punah. Saya lalu memutuskan pergi ke Indonesia,” ujarnya.
Dalam perjalanan ke Indonesia, Chanee membaca berita tentang kebakaran hutan di Indonesia. Niatnya beraktivitas di Indonesia pun kian besar. Ia tiba pada Mei 1998 saat kerusuhan dan isu pergantian pemerintahan menghebat. Namun, tekadnya melestarikan owa menaklukkan kerisauan itu.
Kalaweit
Chanee lalu mendirikan lembaga untuk melestarikan owa. Ia mengajukan izin membentuk yayasan bernama Kalaweit yang berbasis di Kalimantan Tengah. Kalaweit artinya owa dalam bahasa Dayak Ngaju.
Proses mendirikan yayasan memerlukan waktu sekitar sembilan bulan. Pegawai Kementerian Kehutanan pun terheran-heran melihat anak muda yang tak lancar berbahasa Indonesia ini mengurus izin tersebut.
”Bahasa Inggris saja saya belum fasih. Apalagi waktu itu sedang pergantian presiden. Jadi, proses perizinan cukup sulit,” katanya.
Chanee pergi ke berbagai tempat dengan transportasi umum karena keterbatasan dana. Setiap dua bulan dia juga harus bolak-balik ke Singapura untuk memperpanjang visa. Kegigihan itu membuahkan hasil.
”Mungkin karena pegawai Kementerian Kehutanan bosan melihat saya hampir setiap hari, makanya izin diberikan, ha-ha-ha,” ujarnya.
Kini Yayasan Kalaweit mempekerjakan 52 karyawan lokal. Selain owa, mereka juga tak menolak satwa lain, seperti kera, piton, kukang, buaya, bekantan, dan beruang madu.
Kalaweit melakukan tiga aktivitas. Pertama, satwa yang dipelihara warga diusahakan kembali ke alam. Kedua, pelestarian habitat owa dengan mendirikan tempat perlindungan owa seluas 8 hektar di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.
”Kami juga membantu apa pun yang bisa dikerjakan untuk menjaga Cagar Alam Pararawen seluas 5.300 hektar di Barito Utara,” katanya.
Ketiga, petugas Kalaweit berusaha mendekati pemilik satwa untuk melepaskan peliharaannya. Petugas mengimbau agar satwa liar tak ditangkap. Jika sedang berpatroli dan menemukan jerat, mereka menghancurkannya.
Selain itu, Kalaweit yang bekerja sama dengan Pemerintah Kota Palangkaraya sejak tahun 2007 juga berupaya melestarikan kawasan konservasi Hampapak seluas 700 hektar.
Tempat perlindungan owa juga dibuat di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, sembilan tahun lalu. Ini membuat program Kalaweit menjadi pelestarian owa terbesar di dunia. Total 250 owa hidup di tempat perlindungan di Kalimantan Tengah dan Sumatera Barat.
Radio dan internet
Tahun 2003 Chanee melakukan sosialisasi dengan mendirikan Radio Kalaweit berfrekuensi FM 99,1 di Palangkaraya. Ia juga berbagi informasi mengenai owa dan kegiatan yayasan lewat situs internet beralamat www.kalaweit.org.
”Siaran radio kami tak melulu soal owa karena tak ada lagu bisa membuat radio ini tidak ada pendengarnya. Siaran kami mengutamakan hiburan, dengan menyisipkan pesan menyayangi satwa,” katanya.
Pengaruh radio ternyata besar. Sebagian besar satwa yang diserahkan kepada Yayasan Kalaweit di Jalan Pinus, Palangkaraya, berasal dari pendengar.
Chanee mengakui tugasnya tak ringan. Aktivitasnya membuat waktu yang tersisa untuk keluarga terbatas. Apalagi aktivitas dan siaran Chanee demi mempertahankan kelestarian alam menimbulkan ketidaksukaan beberapa pihak yang merasa terganggu.
”Ancaman saya terima lewat surat, telepon, sampai bertemu pelaku. Pernah ada orang datang ke kantor dengan membawa pisau,” ujarnya.
Namun, iming-iming imbalan agar kegiatan pelestarian itu dihentikan hingga ancaman pembunuhan tak menyurutkan niat Chanee melestarikan owa.
Keinginan lainnya yang belum terpenuhi adalah menjadi warga negara Indonesia. ”Saya juga ingin menjadi warga Indonesia. Sudah empat tahun saya mengurusnya, tetapi belum berhasil, cukup susah,” katanya. (source:science.kompasiana.com)

0 comments:

Posting Komentar

Copyright © HIMAKOVA | Designed With By Blogger Templates
Scroll To Top