Senin, 11 November 2013

RUMAH SOKAT LAMA, serpihan desa di Negeri Sawai-Maluku Utara


Ambon (31/8)-- Rumah sokat adalah salah satu desa di negeri Sawai, Pulau Seram. Desa ini berada di pinggiran pantai sampai perbukitan atas. Desa ini  dikenal dengan sebutan Rumah Sokat lama. Rumah Sokat Lama berbatasan dengan Hatulua (Sawai) dan Batu Gurita (Saleman). Pada awalnya di desa ini terdapat sekitar 30 Kepala Keluarga, dengan mata  pencaharian sebagian besar penduduknya menambak ikan. Namun seiring berjalannya waktu satu persatu penduduk desa ini berpindah ke desa lain, sampai pada akhirnya pada tanggal 14 Agustus 1975 seluruh penduduk desa resmi berpindah ke daerah Wahai yang kini dikenal dengan sebutan  Rumah Sokat Baru.


Sebagian besar penduduk di desa ini tidak beragama (atheis). Namun setelah memasuki tahun 50-an, masuk pengaruh Islam dan Nasrani melalui penyebaran bangsa Persia. Selain Persia, wilayah ini juga dipengaruhi oleh bangsa Belanda. Hal ini dibuktikan dengan adanya peninggalan jalan setapak yang disusun dari bebatuan sepanjang pesisir pantai menuju perbukitan atas. Oleh karena itu, desa ini sering dijuluki kota Patu (batu). Sebab, hanya di desa  ini yang dibangun jalan setapak dari batu menuju puncak perbukitan.
Penduduk desa ini juga memiliki 5 marga, diantaranya Katayane, Makasale, Tolau, Malehute, dan Manikuti. Marga ini menunjukkan tingkatan kedudukan di desa tersebut. Marga Katayane adalah marga tertinggi di desa ini. Biasanya keluarga yang memiliki marga tertinggi tak hanya mengandalkan laut sebagai sumber mata pencaharianya, tapi juga dengan bercocok tanam.

"Ayah saya menanam cengkih dan durian di halaman rumah sehingga ketika panen hasilnya melimpah" ujar Zoel Katayane, yang akrab disapa Om Zoel selaku penduduk asli rumahsokat lama yang bermarga Katayane dan kini menjabat sebagai Kepala Resort Masihulan kawasan Taman Nasional Manusela bagian Utara.
Jenis pohon yang dapat tumbuh baik di desa ini ialah jenis tanaman umur panjang contohnya seperti durian, cengkih, lada, dan palawija dll. Sampai saat ini, sepanjang jalan menuju perbukitan masih banyak dijumpai pohon durian, pala, cengkih, dan lada.


Di desa ini juga terdapat sebuah gua yang dipinggirnya terdapat tulang tengkorak manusia dan tulang-tulang lainnya. Kondisinya terbilang masih awet meskipun sudah beratus-ratus tahun yang lalu. Cerita tengkorak ini berawal dari salah seorang pemuda desa rumah sokat yang ingin menunjukkan kebolehannya dalam berperang. Sebagai bukti perang, ia harus membawa tengkorak lawan yang telah dikalahkannya untuk diperlihatkan ke penduduk di desanya agar mereka percaya bahwa ia benar-benar melakukan perang dan memenangkan perang tersebut. Akhirnya ia berangkat perang, dan terbukti mampu mengalahkan lawan. Agar penduduk desa percaya, ia pun memenuhi janji untuk membawa pulang tengkorak lawan. Untuk merayakan kemenangannya, ia berpesta selama 3 malam. Sejak saat itu, penduduk desa pun mengakui kehebatan pemuda ini dan sampai saat ini tengkorak lawannya tersebut masih terdapat di gua tersebut.

Kebiasaan yang dipercaya oleh penduduk desa ini adalah wanita yang sedang datang bulan (menstruasi)  dan melahirkan, maka ia tidak boleh tinggal dirumahnya, tetapi harus dipisahkan dirumah lain yang berada persis didekat pantai. Hal ini karena mereka dianggap sedang dalam keadaan tidak bersih. Oleh karena itu tidak boleh disatukan dengan penduduk lain. Selain itu, terdapat air payau yang dipercaya sebagai obat influenza. Tempatnya berada di pinggir pantai dan di sekelilingnya banyak batu-batuan berukuran besar dan licin. Penduduk desa sering meminum air ini karena dipercaya dapat meningkatkan stamina tubuh. Adapun tempat yang dipercaya sebagai tempat pamali (tidak boleh ditempati), berada dekat perbatasan Saleman, yaitu Batu gurita. Tempat ini tidak boleh ditempati dan dilewati karena mereka percaya bahwa tempat tersebut ada penunggunya. Bahkan  jika sedang berburu satwa seperti kuskus, kemudian satwa tersebut melewati tempat tersebut, maka dilarang untuk meneruskan perburuan. Karena dipercaya akan mendapatkan musibah.

Untuk menempuh lokasi tersebut, dapat menggunakan long boat dari Sawai. Perjalanan ditempuh sekitar 15 menit. Kondisi sekitar kawasan yang masih alami, tidak ada bangunan, namun hanya terdapat sisa-sisa reruntuhan bangunan yang berserakan menambah eksotika kawasan. Dalam perjalanan menuju puncak perbukitan, terdapat pula tempat pengamatan burung (birdwatching). Namun sangat disayangkan kondisinya sudah tidak layak. Ada baiknya jika ditambahkan fasilitas berupa platform. Sehingga pengunjung yang datang dapat melakukan pengamatan burung dan menikmati pemandangan Sawai dari atas pegunungan. Adapun burung yang dapat kita jumpai diantaranya Burung Rangkong, Cikukua dan kelompok kelelawar yang rutin muncul di depan mess Rumah Sokat Lama pada pkl. 19.00 WIT.

Di sekitar kawasan ini juga dapat ditemukan Pohon Kasai yang memiliki aroma wangi yang khas. Biasanya penduduk memanfaatkan batang pohon ini sebagai pewangi makanan. Selain itu juga terdapat pohon, yang biasa disebut pohon Gay, sebagai pakan kupu-kupu.

Selain potensi Gua dan Birdwatching, Rumah Sokat Lama memiliki potensi bahari yang tak kalah menarik daripada Raja Ampat. Air yang sangat jernih, terumbu karang beraneka ragam dan berbagai biota laut yang siap menyambut pada penyelam menjadi magnet bagi wisatawan untuk menjelajahi surge bawah airnya.


Meski tak lagi menempati Rumah Sokat Lama, rasa memiliki terhadap desa ini masih tumbuh dihati penduduk desa Rumah Sokat. Hal ini dibuktikan oleh aksi protes penduduk yang ditunjukkan melalui surat kepada Kepala Balai Taman Nasional Manusela pada tahun 2001 tentang penebangan pohon sembarangan dan aksi perburuan liar. Mereka tidak terima jika ada pihak yang memanfaatkan dan mengambil hasil hutan tanpa izin. Dalam suratnya, tertulis bahwa mereka meminta agar kawasan ini diperhatikan dan selalu dilakukan pengawasan (controlling) yang berkelanjutan. Menanggapi aduan tersebut, pihak Balai Taman Nasional membangun sebuah rumah tepat di tepian pantai yang berfungsi sebagai tempat istirahat atau menginap untuk petugas Balai yang sedang patroli di sekitar rumah sokat lama. Desa ini juga masih rutin dikunjungi oleh penduduk desa Rumah Sokat Lama pada saat musim panen duren dan cengkih. Biasanya mereka sengaja mendirikan tenda di sekitar pantai untuk menunggu dan mengambil hasil panen.

Oleh: Rizka Sya'bana Azmi



3 komentar:

Copyright © HIMAKOVA | Designed With By Blogger Templates
Scroll To Top